Hikmah dari Ibn ʻAṭāʼillāh al-Iskandarī
Oleh: Masudi, S.Ag
“Apabila Allah telah membukakan salah satu jalan ma‘rifat (mengenal Allah) bagimu, maka jangan hiraukan mengapa itu terjadi, walaupun amalmu masih sangat sedikit. Allah membukakan pintu itu bagimu hanyalah karena Dia ingin memperkenalkan diri kepadamu. Tidakkah engkau mengerti, bahwa ma‘rifat itu merupakan anugerah-Nya kepadamu, sedang engkau mempersembahkan amal-amalmu kepada-Nya? Maka apalah arti apa yang engkau persembahkan kepada-Nya itu dibandingkan dengan apa yang dianugerahkan oleh Allah kepadamu.”
(Al-Hikam — Ibn ʻAṭāʼillāh al-Iskandarī)
Pendahuluan
Dalam khazanah tasawuf, makrifat (ma‘rifatullah) ditempatkan sebagai pengalaman batin yang sangat mulia—bukan sekadar penggandaan ibadah lahiriyah, melainkan sebuah fath (pembukaan) yang diberikan langsung oleh Allah kepada hati hamba-Nya. Kutipan dari Al-Hikam karya Ibn ʻAṭāʼillāh ini mengingatkan kita agar tidak merekayasa nilai diri berdasar jumlah amal; sebaliknya, kita mesti memelihara rasa syukur dan rendah hati bila pintu makrifat dibuka.
Beberapa poin penting yang muncul dari teks tersebut:
-
Makrifat adalah pemberian, bukan sekadar hasil usaha. Walau amal sedikit, jika hati diberi pengenalan kepada Allah, itu adalah karunia besar dari-Nya.
-
Amal sebagai persembahan — amal tetap bernilai dan harus dijalankan, tetapi ia berbeda hakikatnya dari karunia makrifat. Amal adalah upaya/hikmah hamba; makrifat adalah rahmat dan pengenalan ilahi.
-
Larangan berbangga atas amal — berbangga pada amal dapat menjadi pintu kesombongan spiritual; siapa yang sombong akan sulit menerima cahaya hidayah.
-
Sikap yang tepat: menerima pembukaan hati dengan syukur, merendah, dan meneruskan amal karena kecintaan, bukan untuk pamer.
Penguatan dari para ulama
Ibn ʻAjībah dalam Iqādh al-Himam fī Syarh al-Hikam menguatkan pandangan ini: bila engkau menyaksikan Allah membuka pintu makrifat, jangan heran walau amalanmu sedikit — sebab tujuan-Nya adalah agar engkau mengenal-Nya. Pernyataan ini menegaskan pembeda antara “pemberian” dan “persembahan”.
Seorang arif terdahulu juga menyatakan:
“Jangan sombong dengan amalmu, sebab jika Allah menutup pintu makrifat, amal sebanyak apapun hanyalah gerakan jasad tanpa cahaya.”
Implikasi praktis bagi kehidupan spiritual
-
Jaga keikhlasan: Lakukan amal karena Tuhan, bukan untuk pengakuan manusia.
-
Tumbuhkan kerendahan hati: Ketika mengalami atau menyaksikan kemajuan spiritual, jadikan itu alasan bertambahnya syukur, bukan kebanggaan.
-
Konsisten dalam amal: Meski makrifat adalah anugerah, amal lahir tetap merupakan sarana penghambaan yang harus dipertahankan.
-
Cari keseimbangan: Antara upaya (amal, ibadah, adab) dan pengharapan rahmat Allah — keduanya saling melengkapi.
Inti Hikmah (ringkasan)
-
Makrifat adalah anugerah Allah, bukan semata hasil usaha.
-
Amal tetap penting, tetapi jangan menjadi sumber kesombongan.
-
Syukuri futūḥ (pembukaan jalan makrifat) tanpa mempertanyakannya.
-
Karunia Allah lebih agung daripada persembahan hamba.
Hikmah Ibn ʻAṭāʼillāh mengajak kita memasuki ruang spiritual yang penuh kerendahan: mengenali bahwa setiap pembukaan hati adalah tanda kasih Allah yang mesti disambut dengan syukur, bukan kebanggaan. Semoga kita termasuk orang-orang yang memaknai anugerah itu dengan benar — terus beramal, tetap rendah hati, dan selalu ingat bahwa segala kebaikan datang semata dari-Nya.
Referensi
-
Ibn ʻAṭāʼillāh al-Iskandarī, Al-Hikam (Kitāb al-Hikam).
-
Muḥammad ibn ʻAlī ibn ʻAjība, Iqādh al-Himam fī Syarh al-Hikam (syarh atas Al-Hikam).
-
Karya-karya tasawuf klasik dan syarah-syarah Al-Hikam oleh para ulama tradisional.