Lembaran Cahaya dari Pesantren TJI Zakat Center

Ceria Cerita pendek

Namaku Adit. Di antara ratusan santri yang bersarung dan berselendang, aku bukan siapa-siapa. Hanya seorang anak kampung yang membawa harapan ibu dan cita-cita sederhana: menjadi penghafal Al-Qur’an.

Hari-hariku di Pesantren TJI Zakat Center tak pernah jauh dari lantunan ayat-ayat suci. Setiap pagi, suara adzan membangunkanku. Subuh di sini dinginnya menusuk, tapi ada kehangatan yang tak bisa dijelaskan—seperti pelukan dari langit yang menuntunku bangkit.

Suatu malam, aku duduk di serambi masjid, menatap mushaf yang telah lusuh di tangan. Angin menyibak helaian-helaian kitab suci itu seolah membisikkan sesuatu.

“Ustadz, boleh tanya?” aku memanggil lirih.

Ustadz Lukman, pengajar tahfidz kami, menoleh dengan senyum hangat. “Tentu, Adit. Apa yang mengganjal di hatimu?”

Aku menunduk. “Kadang aku merasa berat, Ustadz. Ada hari-hari saat satu ayat pun sulit melekat. Tapi hari ini… entah kenapa, dua halaman bisa kuhafal hanya dalam sehari. Seperti ada yang memudahkan.”

Ustadz Lukman meletakkan tangannya di pundakku. “Itulah karunia Allah, Nak. Hafalan Qur’an bukan semata soal otak, tapi soal hati. Jika Allah ridha, satu lembar terasa seperti setetes embun di padang gersang.”

Aku menahan air mata. Bukan karena aku lemah, tapi karena aku tahu… aku hanya hamba kecil yang sedang dipeluk rahmat.

Namun perjalanan ini tidak selalu dipenuhi kemudahan. Pernah suatu sore, saat hujan mengguyur deras, aku terduduk lemas di beranda asrama.

“Aku nggak sanggup, Jan,” gumamku pada sahabatku, Najwan, yang baru saja datang membawa dua gelas teh hangat.

“Kenapa?” tanyanya sambil menyerahkan teh padaku.

“Ayat-ayat itu… terasa asing. Seperti hilang. Padahal sudah kuulang puluhan kali.”

Najwan menatapku dalam-dalam. “Kalau kita menyerah, Qur’an itu juga akan menjauh. Tapi selama kita pegang terus, walau merangkak, Allah nggak akan lepasin tangan kita.”

Kata-katanya menyentuhku. Aku menghela napas panjang, dan kembali membuka mushaf, menyeka halaman yang sedikit basah karena tetesan air hujan dan air mataku sendiri.

Hari demi hari berlalu. Ada tangis, ada tawa, ada malam-malam panjang saat satu surah terasa seperti gunung yang harus didaki. Tapi perlahan, satu per satu gunung itu kutaklukkan. Dan kini, atas izin Allah, tiga puluh juz telah terpatri di dadaku.

Aku bukan siapa-siapa. Tapi aku percaya, bahwa yang kecil bisa berarti besar, bila bersandar pada Yang Maha Kuasa.

Di Pesantren TJI Zakat Center inilah aku menemukan makna hidup. Bahwa Al-Qur’an bukan hanya hafalan, tapi cahaya yang menuntun langkahku dalam gelap, yang menguatkan saat dunia terasa runtuh.

Dan untuk kalian yang membaca kisah ini, ketahuilah—ada 120 santri yatim dan dhuafa di pesantren ini yang sedang menapaki jalan yang sama. Mereka butuh uluran tanganmu. Sekecil apa pun donasimu, itu adalah bahan bakar bagi mimpi mereka, cahaya bagi masa depan mereka.