Hari Kartini: Simbol Emansipasi Perempuan dan Perjuangan Intelektual di Indonesia
Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini sebagai bentuk penghormatan kepada Raden Ajeng Kartini, seorang tokoh pelopor emansipasi perempuan di tanah air. Kartini dikenal sebagai sosok yang memiliki pemikiran maju mengenai hak-hak perempuan, terutama dalam bidang pendidikan dan kesetaraan sosial pada masa penjajahan Belanda.
Perjuangan Kartini dan Latar Belakang Sosial
Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, dari keluarga bangsawan Jawa. Meskipun berasal dari kalangan priyayi, Kartini mengalami langsung keterbatasan akses pendidikan bagi perempuan. Ia sempat mengenyam pendidikan di ELS (Europese Lagere School), namun harus berhenti ketika menginjak usia remaja karena tradisi pingitan. Dalam keterbatasan itu, Kartini tetap melanjutkan pembelajarannya secara mandiri melalui surat-menyurat dengan sahabat-sahabatnya di Eropa.
Melalui surat-surat tersebut, Kartini menuangkan pemikirannya mengenai pentingnya pendidikan bagi perempuan, penolakan terhadap poligami, dan keinginan membebaskan perempuan dari kungkungan adat yang menindas. Surat-surat itu kemudian dihimpun dan diterbitkan dalam buku berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Menurut penelitian oleh Ernawati (2019) dalam jurnal Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Kartini adalah representasi dari “kesadaran baru perempuan Jawa” yang mulai mempertanyakan struktur sosial patriarkis dan memimpikan tatanan masyarakat yang lebih adil terhadap perempuan. Kartini juga menunjukkan bahwa emansipasi tidak berarti meniru budaya Barat, melainkan membangun kemajuan melalui akar budaya sendiri (Ernawati, 2019).
Relevansi Hari Kartini di Era Modern
Di era modern, Hari Kartini menjadi momen refleksi untuk menilai sejauh mana cita-cita Kartini telah terwujud. Banyak perempuan Indonesia kini telah mengakses pendidikan tinggi, memimpin institusi, dan aktif dalam berbagai sektor strategis. Namun, tantangan masih ada, seperti kesenjangan ekonomi, diskriminasi gender di dunia kerja, hingga kekerasan berbasis gender.
Dalam jurnal Musawa: Jurnal Studi Gender dan Islam, Nurhayati (2020) menekankan pentingnya meneruskan semangat Kartini dengan pendekatan yang kontekstual. Emansipasi perempuan masa kini tidak hanya menuntut akses terhadap pendidikan, tetapi juga peran aktif dalam pengambilan keputusan sosial dan politik. Pendidikan gender sejak dini dinilai sebagai strategi efektif untuk membangun kesetaraan dan mengurangi bias gender struktural (Nurhayati, 2020).
Hari Kartini bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan pengingat bahwa perjuangan perempuan Indonesia telah memiliki akar kuat sejak zaman kolonial. Kartini telah meletakkan dasar intelektual dan moral bagi perjuangan kesetaraan gender yang masih relevan hingga kini. Mewujudkan impian Kartini berarti menjadikan perempuan sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar objek dari sistem yang telah ada.
Referensi:
- Ernawati. (2019). R.A. Kartini dan Emansipasi Perempuan dalam Perspektif Sejarah dan Budaya. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 24(3), 302–312.
- Nurhayati. (2020). Emansipasi Perempuan dalam Perspektif Islam dan Konteks Kekinian. Musawa: Jurnal Studi Gender dan Islam, 18(1), 45–60.