Cahaya di Ujung Doa
Sore itu, langit mulai berwarna keemasan. Di rumah kecil kami yang sederhana—jauh dari kata mewah seperti rumah orang lain—aku duduk termenung di sudut ruang tamu. Rumah yang penuh kehangatan meski sederhana ini adalah saksi bisu dari perjuangan seorang ibu yang membesarkan aku seorang diri.
Saat itu, aku duduk di tahun terakhir di bangku sekolah dasar, tepatnya di Madrasah Ibtidaiyah Al-Ikhlas Satupatok. Pikiran tentang masa depan berputar di kepalaku, membuat dadaku terasa sesak. Dengan keberanian yang kukumpulkan perlahan, aku mendekati ibuku yang sedang melipat pakaian di atas tikar lusuh.
“Bu,” panggilku lirih, “Aku ingin mondok setelah lulus sekolah.”
Ibuku menghentikan tangannya, matanya memandangku penuh cinta. Namun ada beban yang tak bisa ia sembunyikan. Dengan suara pelan dan sedikit bergetar, ia berkata, “Tidak usah, Nak… Mondok itu butuh banyak biaya.”
Aku menunduk. Aku tahu betul beratnya beban hidup kami. Ayah telah berpulang ketika aku masih berumur dua tahun. Bahkan wajahnya pun samar dalam ingatanku. Kehilangan itu seperti lubang yang tak pernah bisa sepenuhnya tertutup di hatiku. Ibuku telah berjuang sendirian, menjadi pelindung sekaligus penyemangat hidupku.
Dalam hati, aku tetap menyimpan harap. Ingin sekali aku belajar di pondok pesantren, menuntut ilmu, membangun masa depan, dan mengangkat derajat ibuku kelak. Namun untuk saat itu, aku hanya bisa diam, menelan keinginan dalam-dalam.
Waktu berlalu. Seperti hujan yang akhirnya reda, datanglah kabar baik yang tak terduga. Sore itu, Mang Somad, tetangga kami yang dikenal baik hati, menghampiri rumah. Dengan senyum khasnya, ia berkata, “Kemarin Ibumu cerita, kamu mau mondok, ya? Kalau mau, coba daftar ke Zakat Center. Ada beasiswa di sana.”
Hatiku seperti disirami embun segar. Tanpa ragu, aku menjawab penuh semangat, “Insya Allah, Pak!”
Beberapa hari kemudian, sebelum kelulusan, aku diantar oleh Teh Ayu, anak Mang Somad, ke kantor Zakat Center. Ia dengan tulus menemaniku mengurus pendaftaran. Di kantor itu, aku mengisi formulir, mengumpulkan berkas, dan kemudian diarahkan ke sebuah ruangan untuk wawancara.
Di dalam ruangan, aku bertemu seorang lelaki paruh baya, berwajah bersih dan penuh wibawa. Ia memperkenalkan diri sebagai Pak Anwar, salah satu direktur di Zakat Center.
Beliau tersenyum dan bertanya, “Cita-citamu apa, Nak?”
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab dengan mantap, “Saya ingin menjadi Ulama, Ustaz. Saya ingin berdakwah.”
Mata Pak Anwar berbinar, dan ia menepuk pundakku dengan lembut. “Kalau sungguh-sungguh, insya Allah, kamu akan sampai pada cita-citamu,” katanya. Kata-kata itu membekas dalam hatiku, menjadi bara kecil yang menyala-nyala.
Setelah semua proses selesai, aku pulang bersama Teh Ayu. Di perjalanan, aku mengucapkan terima kasih berkali-kali. Betapa besar kebaikan mereka, tanpa pamrih membantuku menggapai impian.
Aku kemudian tahu, Mang Somad adalah Mitra binaan Zakat Center dari program Ekonomi Mandiri. Berkat itulah informasi tentang beasiswa sampai ke keluargaku.
Hari-hari berlalu dalam penantian yang penuh harap. Aku tetap belajar giat, berdoa dalam sujud-sujud panjang, dan membayangkan diriku suatu hari nanti berdiri di hadapan banyak orang, membawa pesan kebaikan, seperti para ustaz yang dulu kukagumi.
Di balik kesederhanaan hidupku, aku tahu: ada Allah yang selalu mendengar, ada orang-orang baik yang diutus untuk menyalakan harap, dan ada cita-cita yang, insya Allah, akan kutempuh, sejauh apapun jalannya.
Kisah Nyata dikutip dari
Novel Sang Pemimpi (Kisah Anak Yatim Yang Bisa Sekolah Gratis)
Alumni Beasiswa Santri Zakat Center
Yuk! Bantu Program Beasiswa Santri dengan donasi ke Rekening berikut
Bank Syariah Indonesia / BSI
7274 7274 75
a.n. YYS Zakat Center Thoriqotul Jannah Indonesia
(Kode Bank 451)
Informasi dan Kontak:
WhatsApp: 0857 2437 6426
Telepon: (0231) 885 3823
Kunjungi: Kantor Zakat Center
Follow Sosial Media:
Instagram: @zakatcenter
Facebook: zakatcenter
Tiktok: zakatcenter
Youtube: zakatcenter