Cerita pendek

Peluk Sunyi di Tengah Malam

 

Di tengah malam yang hening, ketika langit menggantungkan bulan di antara bintang-bintang yang malu-malu, aku duduk sendiri di ruang tamu. Lampu sengaja kupadamkan, hanya cahaya dari luar jendela yang menyelinap pelan, membentuk bayangan-bayangan tenang di dinding. Rasanya… begini rupanya. Saat keluh kesah yang selama ini kusimpan rapat-rapat akhirnya pecah seperti bendungan jebol—bukan di hadapan manusia, tapi di hadapan Sang Pencipta.

 

Aku dulu sering bicara pada manusia, berharap mereka mengerti. Tapi yang terjadi, kadang mereka hanya mendengar untuk menjawab, bukan untuk memahami. Bahkan, tak jarang kata-kataku jadi bahan obrolan di belakang. Luka yang kupendam jadi lelucon bagi yang tak tahu rasanya. Maka aku belajar diam, dan dari diam itu aku tahu: Tuhan adalah tempat curhat yang tak pernah menghakimi.

 

Dalam pelukan sunyi malam itu, di ruang tamu yang dinginnya seperti menenangkan luka, aku sadar bahwa dunia memang tak akan pernah selesai. Penatnya urusan hidup tak akan pernah habis. Tapi… syukur? Ah, syukur itu obat yang pelan-pelan menyembuhkan. Aku masih hidup. Masih bisa berpikir. Masih diberi nikmat tinggal di negeri yang damai ini—Indonesia.

 

Kata orang, tongkat kayu bisa jadi tanaman. Aku tak tahu pasti, tapi yang jelas negeri ini penuh berkah. Gunung menjulang, hutan menghijau, laut membentang. Sementara di belahan bumi lain, seperti Palestina, anak-anak harus bermain di antara reruntuhan bangunan. Tidur dengan nyanyian dentum bom, bukan nina bobo ibu.

 

Indonesia bukan tanpa cela, tapi ia rumah. Dan rumah, seburuk apa pun, tetap tempat pulang bagi yang tahu caranya bersyukur.

 

Maka aku belajar berpikir positif. Sebab pikiran adalah kunci melihat dunia. Aku belajar menanam kebaikan, sekecil apapun. Senyum, sapa, bahkan doa diam-diam. Tak semua harus terlihat, karena Tuhan melihat apa yang tersembunyi.

 

Kadang memang sakit. Saat niat baik dibalas curiga, atau kebaikan dicibir. Tapi aku belajar untuk tetap menjadi baik, walau tak selalu dipuji. Karena bisa jadi, kebaikan yang paling kecil—yang bahkan tak kita ingat—justru menjadi jembatan menuju masa depan yang lebih terang.

 

Jadi malam itu, aku tak menangis karena lelah. Tapi karena akhirnya, aku tahu ke mana harus memeluk keluh kesahku. Dan di ruang tamu yang sepi itu, aku merasa tak lagi sendiri.

 

Sawer donasi yuk : https://bagibagi.co/elqolammedia